MENAJAMKAN SYUKUR, MENGURANGI KUFUR
Jamaah Jumat yang berbahagia.
Pada siang yang berbahagia ini, mari, terlebih
dahulu menghaturkan rasa syukur kehadirat Allah Swt. Kita syukuri segala hal
maupun segala keadaan yang saat ini menyelimuti jiwa raga. Apapun keadaannya,
bagaimanapun kenyataannya, ia adalah hal terbaik yang dianugerahkan Allah pada
diri kita. Kita harus pandai mensyukurinya. Masih banyak saudara di luar sana
yang jauh kurang beruntung. Ditimpakan keadaan ataupun cobaan yang jauh lebih
berat, yang seandainya cobaan tersebut ditimpakan pada kita, mungkin jadi, tak
kuasa menjalaninya. Sehingga tidak bisa merasakan kebahagiaan sebagaimana kita
rasakan sekarang.
Demikian pula keadaan sekarang yang relatif
pas-pasan, atau bahkan mungkin kurang dibanding mereka yang mendapat
kebahagiaan dan rezeki melimpah, kita pun harus pandai mensyukurinya. Sebab,
belum tentu kebahagian dan rezeki yang melimpah itu mengantar penerimanya
pandai bersyukur. Terkadang malah hanyut di dalamnya. Hanyut dalam kebahagiaan
dan kesenangannya. Kemudian lupa bersyukurnya.
Shoalawat dan salam mari senantiasa kita haturkan
kepada insan mulia baginda Muhammad Saw, kepada Keluarga,sahabat, dan kita
semua selaku ummatnya, semoga kita kelak layak berada bersamanya di tempat yang
mulia. Amiin.
Oleh
karena itu, Jamaah Jumat yang berbahagia
Sekali lagi, mari kita jadikan syukur menjadi
suatu hal yang sangat wajib untuk dihayati, direnungkan, dan dipraktekkan dalam
segala keadaan maupun aktfitas. Cukup tidak cukup, penak tidak penak, sedang
bahagia ataupun tidak, kesemuanya disyukuri secara mendalam. Mengiringi ajegnya
nafas yang keluar masuk dalam dada, yang tanpa kita harap pun diberi dengan
sangat murah, tak terhingga nilainya.
Bilamana sebaliknya, rasa syukur itu tidak
mendapat perhatian yang seksama, terlindih oleh berbagai macam keadaan maupun
aktifitas, tentu akan dengan mudah terjebak dalam kekufuran. Sebagaimana
ketentuan-Nya, wa lain kafartum inna
'adzabi lasyadid. Adzab Allah itu sungguh sangat pedih bagi mereka yang
mengkufuri segala nikmat-Nya, baik nikmat yang menyenangkan-membahagiakan,
maupun nikmat yang berupa menyusahkan-menyengsarakan. Yang tentunya, kita semua
harus menghindar dengan sekuat-kuatnya usaha.
Jamaah
Jumat yang berbahagia
Menajamkan
syukur dan mengurangi jeratan kufur jelas bukan perkara mudah. Sebab, dada kita
terlanjur mudah terisi butiran-butiran kufur. Tanpa disadari telah terbiasa
dilakoni. Buktinya, masih mudahnya hati gonjang ganjing terbawa suasana. Senang
susah kecewa nglokro lemah semangat dan seterusnya dan sebagainya. Apalagi,
sedikitnya ada 3 ketentuan yang mengindikasikan bahwa anak cucu Adam ini sulit
terlepas dari cengkeraman kufur. Pertama, firman-Nya dalam QS.
Al-Ahzaab[33]: 72 innahu kaana zaluman
jahuula. Sesungguh-nya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.
Kedua, firman-Nya
dalam QS. Al-Ma'aarij[70]: 19
Sesungguhnya manusia itu diciptakan bersifat
keluh kesah lagi kikir.
Ketiga, sabda Nabi SAW
al insaanu mahalul khatha’ wa nisyan. Sesungguhnya manusia itu tempatnya salah dan lupa.
Jamaah Jumat
rahimakumullah.
Ketiga ketentuan tersebut, bila dicermati secara mendalam, seolah
memupus harapan agar terbebas dari jeratan kufur. Bisa dibayangkan, ketika masih
berada di alam dzar atau alam arwah, jiwa raga yang masih belum terbentuk,
apalagi akal pikiran, telah divonis zaluman jahula. Setelah terlahir di dunia,
sifatnya yang selalu keluh kesah, selalu kurang, lagi kikir. Dilengkapi pula dengan
tempatnya salah dan lupa. Seolah melengkapi, dan menyempurnakan watak zaluman
jahulanya.
Namun demikian, manusia tetaplah manusia yang tidak bisa apa-apa dan
tidak ada apa-apanya, tetap diperintah untuk berikhtiyar dan bertawakkal. Perkara
hasil atau tidaknya urusan Yang Maha Kuasa. Adapun usaha untuk menajamkan syukur dan mengurangi jeratan kufur adalah:
Pertama, memahami
dengan baik makna ungkapan “man
‘arofa nafsahu faqod ‘arofa Rabbahu, wa man ‘arofa Rabbahu faqod jahula
nafsahu”. barang siapa
mengenali jati dirinya sendiri tentu akan mengenali Jati Diri Tuhannya, dan
barang siapa mengenali Jati Diri Tuhannya tentu akan mengetahui “bodoh”-nya
diri. Sehingga silogismenya, barang siapa mengenali dirinya sendiri, tentu akan
mengenali bodohnya diri.
Konkritnya, pengenalan terhadap jati diri manusianya sendiri, bisa
dilakukan bila mengenal dengan benar Jati Diri Tuhan. Sedang pengenalan akan
Jiti Diri Tuhan, hanya dapat dilakukan bilamana ditanyakan (atau tepatnya
digurukan) langsung pada yang diutus Tuhan mengenalkannya. Sebab, hanya sang
utusan inilah yang mengajarkan secara langsung ajaran suci-Nya. Yang ditugasi
memperkenalkan Jati Diri Al-Ghayb Tuhan pada hamba yang telah menjadi kehendak-Nya.
Kemudian setelah mengenal Jati Diri Tuhannya, selanjutnya memproses diri
sebagaimana petunjuk tuntunan arahan yang telah mengenalkan ilmunya. Kemudian
hanya melalui ampunan dan hidayah Tuhan semata, yang akan mengangkat pengertian
dan pemahaman hamba, menyadari seyakin-yakinnya bahwa hamba ini ternyata memang
bodoh. Tidak bisa apa-apa dan tidak ada apa-apanya.
Zaluman jahula.
Jamaah Jumat yang berbahagia,
Langkah kedua,
mencermati dan berusaha melaksanakan fatwa Imam Ali:
تَعَلَّمُوا الْعِلْمَ
تُعْرِفُوا بِهِ,
وَاعْمَلُوابِهِ تَكُونُوامِنْ
اَهْلِهِ
Pelajarilah ilmu, niscaya kalian akan dikenal dengannya, dan
amalkanlah ilmu yang kalian pelajari itu, niscaya kalian akan termasuk ahlinya.
Konkritnya, di dalam mendapatkan kebisaan atau kepahaman atas suatu
perkara, apalagi menjadi ahli didalamnya, satu-satunya syarat adalah harus
mempelajari ilmunya. Ilmu yang membahas, mengatur, dan mengupas tuntas perihal
perkaranya. Dengan cara, ditanyakan langsung pada sang ahli perihal ilmu
bidangnya.
Fatwa ini tidak membicarakan satu bidang ilmu tertentu, melainkan
semua ilmu yang memungkinkan untuk dipelajari. Kuasa menjalaninya. Termasuk
didalamnya, ilmu khos tentang pengenalan Jati Diri Tuhan, yang mampu mengantar
pelakunya wa’bud rabbaka hatta ya’tiyakal yaqin, dan mengurangi diri
dari jeratan kufur.
Ketiga, memahami dengan seksama rambu-rambu ilmu beserta
pengamalannya, sebagaimana fatwa Imam Ali di muka :
اَلْعَامِلَ
بِغَيْرِ
عِلْمٍ
كَالسَّائِرِعَلَى
غَيْرِ
طَرِيْقٍ,
فَلاَ
يَزِيْدُهُ
بُعْدُهُ
عَنِ
الطَّرِيْقِ
الْوَاضِحِ
إِلاَّ
بُعْدًا
مِنْ
حَاجَتِهِ.
وَالْعَامِلٌ
بِا
الْعِلْمِ
كَالسَّائِرِ
عَلَى
الطَّرِيْقِ
الْوَاضِحِ.
فَلْيَنْظُرْ
نَاظِرٌ:
أَسَائِرٌ
هُوَ
أَمْ
رَاجِعٌ
Orang yang beramal tanpa ilmu, seperti orang yang berjalan bukan di
jalan. Maka, hal demikian tidak menerangi jalannya kecuali semakin jauh dari
kebutuhannya. Dan orang yang beramal dengan ilmu, seperti orang yang berjalan
di atas jalan yang terang. Maka, hendaklah seseorang memperhatikan, apakah dia
berjalan, ataukah malah kembali.
Keempat, perlu mengasah akal dengan rutin, serius,
disertai dengan sabar, tawakkal. Sebagaimana fatwa Imam Ali yang lain: akal
adalah naluri, sedangkan yang mengasuhnya adalah berbagai pengalaman. Akal
adalah buah pikiran dan pengetahuan yang sebelumnya tidak diketahui. Akal
adalah yang menghidupi ruh, sedang ruh adalah yang menghidupi badan. Pemberdayaannya
perlu usaha serius yang rutin. Dibarengi dengan sikap sabar dan tawakkal. Sebab
seserius bagaimanapun, dan serutin apapun suatu usaha, tanpa dibarengi sabar
dan tawakkal, seolah muspro. Sebab hanya Tuhan sendiri yang pada akhirnya
menurunkan dan mengabulkan serangkaian usaha yang dilakukan manusia.
Jamaah Jumat yang berbahagia
Sedikit uraian di atas kiranya mampu membuka dan mencerahkan hati
pikiran. Mampu menambah keyakinan akan pentingnya makna belajar. Sehingga, pada
gilirannya, mampu meningkatkan iman dan taqwa kita walau hanya seper seribu
derajad di sisiNya.
Semoga, serangkaian ibadah kita di siang ini diterima sebagai sebuah
lakon mendekat pada-Nya, menjadi sarana turunnya ampunan dan hidayah Ilahi.
Serta mendapat limpahan berberan sawab dan berkah pangestu Rasulullah. Amin.
جَعَلَنَا اللهُ وَاِيَّـاكُمْ مِنَ الْفَا ئِزِيْنَ الْاَمِنِيْنَ. وَاَدْخَلَنَـا وَاِيَّـاكُمْ فِى زُمْرَةِ عِبَـادِهِ الصَّـالِحِـيْنَ. اَعُوْذُبِا
اللهِ
مِنَ
الشَّيْطَانَ
الرَّجِيْمِ.
فَمَنْ
تَابَ
مِنْ
بَعْدِ
ظُلْمِهِ
وَاَصْلَحَ
فَاِنَّ
اللهَ
يَتُوبُ
عَلَيْهِ
اِنَّ
اللهَ
غَفُورٌ
رَحِيْمٌ.
وَقُلْ رَبِّ اغْفِرْ وَاَرْحَمْ وَاَنْتَ خَيْرُا الرَّاحِمِيْنَ.
Khutbah II
اَلْحَمْدُ لله الَّذِي جَعَلَ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ خَلِفَةً لِمَنْ اَرَادَ اَنْ يَذَّكَّرَ اَوْاَرَادَ شُكُورًا. اَشْهَدُ اَنْ لاَاِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ. وَاَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ, اَرْسَلَهُ اِلَى الْعَالَمِيْنَ بَشِيْرًاوَنَذِيْرًا,وَسِرَاجًامُنِيْرًا, اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى عَبْدِكَ وَرَسُولِكَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَصَحْبِهِ اَجْمَعِيْنَ,
اَمَّابَعْدُ, اَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ, اِتَّقُوااللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَتَمُوتُنَّ اِلاَّ وَاَنْتُمْ مُسْلِمُونَ. وَاعْتَصِمُوابِحَبْلِ اللهِ جَمِيْعًا وَلاَتَفَرَّقُواوَاذْكُرُو نِعْمَةَاللهِ عَلَيْكُمْ.
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَامُحَمَّدٍوَعَلَى اَلِهِ سَيِّدِنَامُحَمَّدٍ, وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤمِنِيْنَ وَالْمُؤمِنَاتِ اَلْاَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْاَمْوَاتِ, اِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْئٍ قَدِيْر. اَللَّهُمَّ انْصُرْ مِنْ نَصَرَالدِّيْنَ وَاخْذُلْ مِنْ خَذَلَ الْمُسْلِمِيْنَ, وَاَعْلَ كَلِمَتِكَ اِلَى يَوْمِ الدِّيْنَ.
اَللَّهُمَّ يَامُقَلِّبَ الْقَلَوبِ ثَبِّتْ قُلُوبَنَاعَلَى دِينِكَ, اَللَّهُمَّ افْتَحْ قُلُوبَنَا كَفُتُوحِ الْعَارِفِيْنَ وَنَوِّ قُلُوبَنَا بِهِدَايَةِ الْيَقِيْنَ.
اَللّهُمَّ اَلِّفْ بَيْنَهُمْ كَمَا اَلَّفْتَ بَيْنَ اْلاَنْصَارِ وَالْمُهَا جِرِيْنَ اِنَّمَااَمْرُ هُ اِذَا اَرَادَ شَيْأً اَنْ يَقُوْلَ لَهُ كُنْ فَيَكُوْنَ رَبِّ اشْرَحْلِيْ صَدْرِيْ وَيَسِّرْلِيْ اَمْرِيْ وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِنْ لِسَانِ يَفْقَهُ قَوْلِيْ.وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.
عِبَادَاللهِ اِنَّ اللهَ يَأمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَاِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغِى يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ. وَلَذِكْرُاللهِ اَكْبَرَ..
0 komentar :
Posting Komentar