AHLI BAHASA DAN ORANG BIASA
kisah penuh hikmah
Kisah Muslim – Seorang ahli nahwu (gramatika Arab) berkata kepada anaknya,
“Jika kamu hendak mengungkapkan sesuatu, maka pergunakan akalmu, pikirkanlah
dengan sungguh-sungguh terlebih dahulu sehingga kamu merangkai kalimat yang
baik dan benar. Kemudian ungkapkan kata-kata dengan benar.” Suatu ketika
keduanya sedang duduk-duduk pada musim dingin sambil menyalakan api. Tiba-tiba
ada percikan api yang mengenai jubah sang ayah. Sang ayah tidak menyadari hal
tersebut, sedangkan si anak melihatnya. Si anak terdiam sesaat sambil berpikir.
Kemudian dia berkata, “Ayah, saya ingin menyampaikan sesuatu kepadamu. Apakah
engkau mengizinkan?” Sang ayah menjawab, “Jika sesuatu yang benar, ucapkanlah!”
“Saya yakin benar,” jawab si anak. Ayahnya berkata lagi, “Ya sudah, katakan
saja!” “Sungguh, saya melihat merah-merah di jubah ayah,” kontan sang ayah
melihat jubahnya. Ternyata sebagian besar jubahnya telah terbakar. Dia pun
berkata kepada anaknya, “Mengapa kamu tidak segera memberitahukan kepadaku?” Si
anak menjawab, “Saya pikirkan dulu sebagaimana perintah ayah. Kemudian saya
menyusun kalimat yang benar, baru saya ucapkan.” Lalu sang ayah membentaknya
dengan berkata, “Jangan berbicara dengan mengikuti kaidah nahwu untuk
selamanya!”
Ada orang fakir yang berdiri di depan pintu seorang ahli nahwu, lalu dia
mengetuk pintu. Si ahli nahwu bertanya, “Siapa di depan pintu?” Dia menjawab
“Sail (pengemis).” Si ahli nahwu berkata, “Mestinya ditanwin.” Dia menjawab,
“Nama saya Ahmad (lafazh Ahmad tercegah dari tanwin)” lantas si ahli nahwu
berkata kepada anaknya, “Berilah Sibawaih (nama seorang ahli nawhu) itu remukan
roti.”
Seorang ahli nahwu jatuh ke dalam jamban, lalu datanglah seorang tukang
sapu untuk mengeluarkannya. Tukang sapu memanggil-manggilnya untuk memastikan
dia masih hidup atau tidak. Ahli nahwu menjawab, “Tolong carikan untukku tali
yang lunak, ikatlah aku dengan ikatan yang kuat, dan tariklah aku dengan
lembut!” Lantas tukang sapu berkata, “Aduh, ibuku bisa kehilangku jika aku
mengeluarkanmu dari situ.”
Abu Alqamah, seorang ahli nawhu menemui seorang dokter, lalu dia berkata,
“Saya telah makan daging jawazi. Saya makan terlampau kenyang. Lalu saya merasa
sakit antara ujung tulang paha sampai ke leher. Dan penyakit tersebut semakin
bertambah dan berkembang sehingga bercampur ke ujung-ujung tulang iga. Apakah
Anda mempunyai obatnya?” Dokter menjawab, “Iya. Ambillah Khaunaq, sarbaq, dan
raqraq. Lalu cucilah dan minum dengan air.” Abu Alqamah berkata, “Saya tidak
paham apa yang Anda katakan.” Dokter pun menimpali, “Saya juga tidak paham apa
yang tadi Anda katakan.”
Seorang lelaki berkata kepada al-Hasan, “Ma taqulu fi rajulun taraka abihi
wa akhihi (Apa pendapatmu megenai seseorang yang meninggalkan ayahnya dan
saudaranya)?” Al-Hasan menjawab, “Taraka abahu wa akhahu” (Semestinya secara
nahwu menggunakan redaksi abahu wa akhahu). Lelaki tersebut bertanya lagi, “Fa
ma li abahu wa akhahu” (Ada apa dengan ayahnya dan saudaranya)?” Al-Hasan
menjawab, “Fa ma li abihi wa khihi” (Semestinya secara nahwu menggunakan
redaksi abihi wa akhihi). Lelaki tersebut berkata lagi kepada al-Hasan, “Setiap
kali saya berbicara denganmu, kenapa kamu selalu menyalahkannya?”
Abu Alqamah, seorang ahli nahwu dikunjungi oleh keponakannya, lalu beliau
bertanya kepada keponakannya tersebut, “Apa yang terjadi pada ayahmu?” Dia
menjawab, “Meninggal dunia.” Abu Alqamah melanjutkan, “Dia sakit apa?” “Warimat
qadamihi (Kedua kakinya membengkak).” Jawabnya. Abu Alqamah menimpali,
“Semestinya kamu katakan qadamuhu.” Dia melanjutkan, “Fartafalal waramu ila
rukhbatahu (Bengkak tersebut menjalan naik sampai ke lutut).” Alqamah
menimpali, “Semestinya kamu katakan rukbataihi.” Keponakannya berkata, “Biarlah
paman, kematian ayahku ini lebih berarti daripada mengurusi nahwumu ini.”
Seorang laki-laki berkata kepada lelaki lain, “Saya paham tentang nahwu,
hanya saja saya tidak mengetahui redaksi yang diungkapkan oleh banyak orang ini
yaitu ‘Abu Fulan, Aba Fulan, Abi Fulan.” Lelaki satunya menjawab, “Aba Fulan
itu untuk orang yang pangkatnya tinggi, Abu Fulan untuk orang menengah,
sedangkan Abi Fulan untuk orang yang rendahan.”
Seorang ahli nahwu berhenti pada penjual semangka, lalu dia berkata,
“Berapa harganya itu dan ini sendiri-sendiri?” Penjual semangka melihat ke
kanan dan ke kiri, kemudian berkata, “Maaf, saya tidak punya sesuatu untuk
membelahnya.”
Salah seorang ahli nahwu masuk ke dalam pasar untuk membeli keledai. Dia
berkata kepada penjual, “Saya ingin keledai yang tidak kecil yang hina atau
besar yang terkenal. Jika saya beri makan sedikit, ia sabar. Jika saya beri
makan banyak, ia bersyukur, tidak termasuk keledai yang tidak laku, tidak
terdesak oleh pasukan berkuda. Ketika di jalanan sepi, ia berjalan cepat.
Ketika jalanan macet, ia berjalan pelan.” Lantas si penjual berkata setelah
sempat berpikir sesaat, “Tinggalkanlah aku! Seandainya Allah Subhanahu wa
Ta’ala mengubah bentuk seorang qadhi (hakim) menjadi keledai, maka aku jual
kepadamu.”
Sebagian orang menjenguk seorang ahli nahwu yang sedang sakit. Mereka
bertanya, “Apa yang Anda keluhkan?” Ahli nahwu menjawab, “Demam yang berat.
Apinya sangat panas, hingga anggota badan menjadi lemas, tulang belulang terasa
remuk.” Mereka berkata, “Tidak apa-apa. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala
memberi kesembuhan kepadamu. Kiranya (kematian) itulah yang menyudahi segala
sesuatu.”
Ada sekeluarga yang salah satu anaknya seorang ahli nahwu yang ucapannya
terlalu jelimet. Suatu ketika ayahnya sakit keras dan telah mendekati ajalnya.
Anak-anaknya pun berkumpul di sisinya. Mereka berkata kepada ayhnya, “Apakah
perlu kami panggilkan untukmu saudara kami yang ahli nahwu?” Sang ayah
menjawab, “Tidak usah. Jika dia datang, justru dia membuatku mati.” Mereka
berkata, “Kami berpesan kepadanya agar tidak berbicara sepatah kata pun.”
Ketika si ahli nahwu datang, dia berkata, “Wahai ayahku! Demi Allah, yang
menyibukkan diriku tidak lain ada si fulan. Fainnahu daani, bil-amsi fa ahrasa
waadasa wastabzaja wasakbaja wathabaja waafraja wa dajjaja waabshala wa amdhara
walawdzaja waflauzaja. Sang ayah pun berteriak, “Pejamkanlah mataku. Orang
celaka telah datang mendahului malaikat maut untuk mencabut nyawaku.”
0 komentar :
Posting Komentar