KISAH SYURAIH AL-QADHI
BERSAMA ISTRINYA
Ini Syuraih al-Qadhi bersama
istrinya. Syuraih adalah seorang tabi’in yang ditunjuk oleh Umar bin Khattab
menjadi pejabat hakim di wilayah kekhalifahan Islam.
Setelah Syuraih (seorang
tabi’in) menikah dengan seorang wanita bani Tamim, dia berkata kepada Sya’bi
(seorang tabi’in), “Wahai Sya’bi menikahlah dengan seorang wanita bani Tamim
karena mereka adalah wanita.”
Sya’bi bertanya, “Bagaimana
hal itu?”
Syuraih bercerita, “Aku
melewati kampung bani Tamim. Aku melihat seorang wanita duduk di atas tikar, di
depannya duduk seorang wanita muda yang cantik. Aku meminta minum kepadanya.”
Wanita itu berkata kepadaku,
“Minuman apa yang kamu sukai?”
Aku menjawab, “Seadanya.”
Wanita itu berkata, “Beri
dia susu. Aku menduga dia orang asing.”
Syuraih berkata, “Selesai
minum aku melihat wanita muda itu. Aku mengaguminya. Aku bertanya kepada ibunya
tentang wanita itu.”
Si ibu menjawab, “Anakku.”
Aku bertanya, “Siapa?” (maksudnya
siapa ayahnya dan bagaimana asal usulnya).
Wanita itu menjawab, “Zaenab
binti Hadhir dari bani Hanzhalah.”
Aku bertanya, “Dia kosong
atau berisi?” (maksudnya bersuami atau tidak).
Wanita itu menjawab,
“Kosong.”
Aku bertanya, “Kamu bersedia
menikahkanku dengannya?”
Wanita itu menjawab, “Ya,
jika kamu kufu’ (sepadan).
Aku meninggalkannya pulang
ke rumah untuk beristirahat siang, tetapi aku tidak bisa tidur. Selesai shalat
aku mengajak beberapa orang saudaraku dari kalangan orang-orang yang terhormat.
Aku shalat ashar bersama mereka. Ternyata pamannya telah menunggu.
Pamannya bertanya, “Wahai
Abu Umayyah, apa keperluanmu?”
Aku menjelaskan keinginanku,
lalu dia menikahkanku. Orang-orang memberiku ucapan selamat, kemudian acara selesai.
Begitu sampai di rumah aku langsung menyesal. Aku berkata dalam hati, “Aku
telah menikah dengan keluarga Arab yang paling keras dan kasar.” Aku ingat
kepada wanita-wanita bani Tamim dan mereka keras hatinya.
Aku berniat menceraikannya,
kemudia aku berubah pikiran. Jangan ditalak dulu, jika baik. Jika tidak,
barulah ditalak.
Berapa hari setelah itu para
wanita Tamim datang mengantarkannya kepadaku. Ketika dia didudukkan di rumah,
aku berkata kepadanya, “Istriku, termasuk sunnah jika laki-laki bersatu dengan
istrinya untuk shalat dua rakaat dan dia pun demikian.”
Aku beridiri shalat,
kemudian aku menengok ke belakang, ternyata dia juga shalat. Selesai shalat
para pelayannya menyiapkan pakaianku dan memakaikan jubah yang telah dicelup
dengan minyak za’faran.
Manakala rumah telah sepi,
aku mendekatinya. Aku menjulurkan tangan ke arahnya. Dia berkata, “Tetaplah di
tempatmu.”
Aku berkata kepada diriku,
“Sebuah musibah telah menimpaku.” Aku memuji Allah dan membaca shalawat kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dia berkata, “Aku adalah
wanita Arab. Demi Allah, aku tidak melangkah kecuali untuk perkara yang
diridhai Allah. Dan kamu adalah laki-laki asing, aku tidak mengenal akhlak
kepribadianmu. Katakan apa yang kamu sukai, sehingga aku bisa melakukannya.
Katakan apa yang kamu benci, sehingga aku bisa menjauhinya.”
Aku berkata kepadanya, “Aku
suka ini dan ini (aku menyebut ucapan-ucapan, perbuatan-perbuatan, dan
makanan-makanan yang aku sukai) dan juga membenci ini dan ini.”
Dia bertanya, “Jelaskan
kepadaku tentang kerabatmu. Apakah kamu ingin mereka mengunjungimu?”
Aku menjawab, “Aku seorang
hakim. Aku tidak mau mereka membuatku jenuh.”
Aku melalui malam yang penuh
kenikmatan. Aku tinggal bersamanya selama tiga hari. Kemudian aku pergi ke
majlis pengadilan (mulai bekerja kembali). Tidak ada hari yang aku lalui tanpa
kebaikan darinya.
Satu tahun kemudian (setelah
pernikahan kami), tatkala aku pulang ke rumah, aku melihat seorang wanita tua
yang memerintah dan melarang, ternyata itu adalah ibu mertuaku.
Aku berkata kepada ibu
mertuaku, “Selamat datang.”
Ibu mertua berkata, “Wahai
Abu Umayyah, apa kabarmu?”
Aku menjawab, “Baik,
alhamdulillah.”
Ibu mertua bertanya,
“Bagaimana istrimu?”
Aku menjawab, “Wanita
terbaik dan teman yang menyenangkan. Ibu telah mendidiknya dengan baik dan
mengajarkan budi pekerti dengan baik pula kepadanya.”
Ibu mertua berkata, “Seorang
wanita tidak terlihat dalam suatu keadaan dimana prilakunya paling buruk
kecuali dalam dua keadaan. Jika dia telah memperoleh tempat di sisi suaminya
dan jika dia telah melahirkan anak. Jika kamu melihat sesuatu yang membuatmu
marah darinya, maka pukullah (dengan pukulan yang membimbing, tidak membekas).
Karena laki-laki tidak memperoleh keburukan di rumahnya kecuali dari wanita
bodoh dan manja.”
Syuraih berkata, “Setahun
sekali ibu mertuaku datang, dia pulang setelah bertanya kepadaku, ‘Bagaimana
menurutmu jika kerabatmu ingin mengunjungimu?’ Kujawab, ‘Terserah mereka’.”
Dua puluh tahun aku
bersamanya. Aku tidak pernah mencelanya atau marah kepadanya.
Pelajaran dari kisah:
Seorang laki-laki harus
religius dan teguh dalam beragama.
Seorang laki-laki harus
cepat-cepat menikah jika hatinya telah mencintai seorang wanita, karena
dikhawatirkan ia akan terfitnah.
Memilih wanita sebagai istri
dan meneliti keluarganya sebelum menikah.
Bertawakkal kepada Allah,
tidak takut menghadapi masa depan dan optimis terhadap suksesnya pernikahan.
Menggunakan sarana dialog
dan berlemah lembut terhadap istri, terlebih di awal-awal pernikahan untuk
mewujudkan saling mencintai di antara suami istri dan menghilangkan rasa takut
seorang gadis.
Hendaknya suami istri
memperhatikan penampilannya, agar cinta keduanya tetap langgeng dan keduanya
terjaga dari hal-hal yang diharamkan yang menggoda mata dan hati.
Perkara penting: Hendaknya
seorang wanita mempunyai akal jernih, karena hal itu membantu pemahaman dan
mengimbangi suami dalam segala sesuatu yang sesuai dengan tabiat akhlaknya.
Hendaknya suami istri saling
memahami semenjak dimulainya kehidupan suami istri. Karena hal itu bisa
mewujudkan ketentraman, ketenangan, terhindar dari problem dan perselisihan.
Dan hal itu bisa dicapai bila suami menjelaskan kepada istri tentang:
Sifat-sifat buruk yang tidak
ingin dimiliki oleh seorang istri.
Prilaku-prilaku yang tidak
disukainya pada diri wanita secara umum, agar sang istri menghindarinya sebisa
mungkin.
Siapa saja dari
teman-temannya yang boleh berhubungan dengannya, baik dari keluarga, tetangga
atau teman-teman. Suami memiliki hak penuh dalam menentukan siapa yang boleh
masuk rumahnya dan siapa yang dikunjungi oleh istrinya atau berhubugan
dengannya.
Hendaknya istri berusaha
memasak makanan kesukaan suami dan menjauhi apa yang tidak disukainya. Memakai
warna yang dia sukai dan menjauhi yang dibencinya. Karena istri berbusana untuk
suami dan itu termasuk berhiasnya seorang wanita bagi suaminya.
Hendaknya istri
memperhatikan ucapan suami dengan sebaik-baiknya. Hal itu akan membantunya
untuk memahami dan mengerti maksudnya, sehingga dia bisa menunaikan perintahnya
dengan baik.
Kewajiban istri untuk taat
kepada suami dalam setiap perintahnya, tanpa membantah, selama suami tidak
memerintahkannya kepada apa yang menyelisihi perintah Allah Tabaraka wa Ta’ala
dan Rasul-Nya shallallah ‘alaihi wa sallam.
Keluarga istri mempunyai kedudukan dan
penghormatan dari pihak suami. Hanya saja hal itu bukan alasan yang membolehkan
mereka untuk mengunjungi anak mereka tanpa izin dan ridha suaminya. Oleh karena
itu, hendaknya istri mengetahui sejauh mana kesediaan suami menerima kunjungan
salah seorang keluarganya di rumah suaminya. Perkaranya tidak memerlukan
pertanyaan, orang berakal bisa mengerti, walaupun dari ucapan yang tidak berterus
terang. Karena sebagian istri marah jika suami menyatakan keberatannya secara
terang-terangan atas keluar masuknya salah seorang keluarganya. Suami pulang
hendak mencari ketenangan di rumahnya, dia memendam hal ini karena takut
istrinya marah. Suami diam, tetapi ia tertekan. Ini jelas-jelas mempengaruhi
keharmonisan hubungan suami istri dan menjadi penyebab terjadinya sengketa di
antara mereka berdua setelah kunjungan sanak kerabat tersebut.
Ibu yang shalehah dan wanita
pendidik yang berhasil, pengaruhnya membekas pada diri putrinya. Seorang ibu
berusaha agar rumah tangga putrinya langgeng dan berhasil. Karena hal itu
termasuk kewajibannya yang penting setelah anaknya pindah ke rumah suaminya,
ibu tidak berpartisipasi dalam rumah tangga putrinya kecuali dalam keadaan
darurat dan demi meraih kebaikan hubungan suami –istri. Dalam hal ini, sang ibu
harus menghindari perasaan yang tidak sepatutnya dalam setiap perselisihan yang
didengannya dari pernikahan anaknya.
Ancaman memukul tidak secara
otomatis digunakan dalam memperbaiki hubungan suami istri.
Seorang wanita yang lulus
dari rumah yang mendidiknya dengan baik dengan nilai-nilai luhur dan
pemahaman-pemahaman bisa membantu membangun kehidupan rumah tangga yang sehat
dan tentram.
Jika suami dan istri berprilaku
seperti yang dijelaskan, niscaya keduanya akan mengenyam kehiduapan rumah
tangga yang bahagia. Istri tidak menemui hal-hal yang mengotori kebahagiannya.
Suami berbahagia dengan istrinya yang shalehah dan bisa membahagiakannya.
Hendaknya suami tidak memanjakan
istri dan mencari ridhanya secara berlebih-lebihan. Karena jika seorang wanita
melihat kedudukannya dan posisinya di sisi suaminya begitu dimanja, niscaya dia
akan tinggi hati dan sombong, dan mungkin saja menjadikannya tidak menggubris
ucapan suami yang marah kepadanya karena kesalahannya. Hendaknya suami bisa
menata perasaannya kepada istri dengan baik.
Suami yang berbahagia di
rumah akan berhasil pula dalam pekerjaannya.
Inilah pedoman yang harus
dimengerti dan dipahami dengan baik oleh seorang wanita, sebagai pijakan cahaya
dalam hidupnya. Mengabdilah dengan baik kepada suamimu, niscaya kamu berbahagia
dan mendapatkan suami yang berbahagia dan berhasil dalam pekerjaannya.
0 komentar :
Posting Komentar