JA’FAR ASH-SHADIQ IMAM
AHLUSSUNNAH
Tokoh dari kalangan ahlul
bait Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini dicatut oleh Syiah sebagai tokoh
sekte mereka, sebagai imam keenam dalam keyakinan Syiah Itsna Ayriyah, padahal
jauh panggang dari api. Akidahnya sangat berbeda jauh dengan akidah sekte
Syiah.
Nasab dan Kepribadiannya
Ia adalah Ja’far bin
Muhammad bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abu Thalib. Lahir di
Madinah tahun 80 H dan wafat di kota yang sama pada tahun 148 H, dalam usia 68
tahun.
Ash-Shadiq merupakan gelar
yang selalu tersemat kepadanya, karena ia terkenal dengan kejujurannya dalam
hadis, ucapan, dan tindakan. Ia tidak dikenal berdusta. Tidak hanya pada Syiah,
gelar ini juga masyhur di kalangan umat Islam. Syaikhul Islam sering
menyebutnya dengan gelar ini.
Laqob lain yang menempel
pada Ja’far adalah al-imam dan al-faqih, karena memang ia adalah seorang ulama
dan tokoh panutan dari kalangan ahlul bait. Namun yang membedakan keyakinan
umat Islam dengan keyakinan Syiah, bahwa menurut umat Islam Ja’far ash-Shadiq
bukanlah imam yang ma’shum, bebas dari kesalahan dan dosa.
Imam Ja’far ash-Shadiq
dikarunia beberapa orang anak, mereka adalah Isma’il (dijadikan imam oleh Syiah
Ismailiyah), Ismail adalah putra tertuanya, wafat pada tahun 138 H, saat
ayahnya masih hidup. Kemudia Abdullah, dari Abdullah inilah terambil kun-yah Ja’far,
Abu Abdullah. Kemudian Musa, ia dijadikan oleh Syiah Itsna Asyriyah sebagai
imam yang ketujuh setelah Ja’far. Kemudian Ishaq, Muhammad, Ali, dan Fatimah.
Ja’far dikenal sebagai
seorang yang dermawan dan sangat murah hati. Sifat ini seakan warisan dan
tradisi dari keluarga yang mulia ini. Sebagaimana Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam yang paling murah hati di antara keluarga ini.
Dalam hal kedermawanan, ia
juga mewarisi sifat kakeknya Ali Zainal Abidin yang terkenal dengan bersedekah
secara sembunyi-sembunyi. Kisah yang masyhur tentang Ali Zainal Abidin bahwa
pada malam hari yang gelap, ia memanggul sekarung gandum, daging, dan membawa
uang dirham di atas pundaknya, lalu ia bagikan kepada orang-orang yang
membutuhkan dari kalangan orang-orang fakir dan miskin di Kota Madinah. Keadaan
demikian tidak diketahui oleh orang-orang yang mendapat pemberiannya sampai ia
wafat dan penduduk Madinah merasa kehilangan dengan sosok misterius yang
senantiasa membagi-bagikan uang dan makanan di malam hari.
Perjalanan Keilmuannya
Ja’far ash-Shadiq menempuh
perjalanan ilmiahnya bersama dengan ulama-ulama besar. Ia sempat menjumpai
sahabat-sahabat Nabi yang berumur panjang, seperti: Sahl bin Sa’id as-Sa’idi
dan Anas bin Malik radhiallahu ‘anhuma. Dia juga berguru kepada tokoh-tokoh
utama tabi’in seperti Atha bin Abi Rabah, Muhammad bin Syihab az-Zuhri, Urwah
bin Zubair, Muhammad bin al-Munkadir, Abdullah bin Rafi’, dan Ikrimah maula
Ibnu Abbas. Dia juga meriwayatkan dari kakeknya al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr.
Mayoritas ulama yang ia
ambil hadisnya berasal dari Kota Madinah. Mereka adalah ulama-ulama tersohor,
tsiqah, memiliki ketinggian dalam amanah dan kejujuran.
Adapun murid-muridnya yang
paling terkenal adalah Yahya bin Sa’id al-Anshari, Aban bin Taghlib, Ayyub
as-Sikhtiyani, Ibnu Juraij, dan Abu Amr bin al-‘Ala. Demikian juga imam darul
hijrah, Malik bin Anas al-Ashbahi, Sufyan ats-Tsauri, Syu’bah bin al-Hajjaj,
Sufyan bin Uyainah, Muhammad bin Tsabit al-Bunani, Abu Hanifah, dan masih
banyak lagi.
Para imam hadis –kecuali
Imam Bukhari- meriwayatkan hadis melalui jalurnya di kitab-kitab mereka.
Sementara Imam Bukhari meriwayatkan hadis melalui jalurnya pada kita selain
ash-Shahih.
Berkat keilmuan dan
kefaqihannya, sanjungan para ulama pun mengarah kepadanya:
Abu Hanifah mengatakan,
“Tidak ada orang yang lebih faqih daripada Ja’far bin Muhammad.”
Abu Hatim ar-Razi dalam
al-Jarh wa at-Ta’dil, 2: 487 berkata, “(Dia) tsiqah, tidak perlu dipertanyakan
kualitas orang sekaliber dia.”
Ibnu Hibban berkomentar,
“Dia termasuk tokoh dari kalangan ahlul bait, ahli ibadah dari kalangan atba’
at-tabi’in, dan ulama Madinah.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
memujinya dengan ungkapan, “Sesungguhnya Ja’far bin Muhammad termasuk imam,
berdasarkan kesepakatan Ahlussunnah” (Minhaju as-Sunnah, 2:245).
Demikian sebagian kutipan
dari para ulama yang meuji kedudukan Ja’far bin Muhammad ash-Shadiq.
Ja’far ash-Shadiq Tidak
Mencela Abu Bakar dan Umar
Orang-orang Syiah bersikap
berlebihan terhadap Ja’far ash-Shadiq. Mereka mendaulatnya sebagai imam keenam.
Pengakuan mereka ini hanyalah klaim sepihak saja. Buktinya, apa yang Ja’far
ash-Shadiq yakini dan ia katakan sangat jauh berbeda dengan keyakinan-keyakinan
Syiah.
Misalnya sikap Ja’far
ash-Shadiq terhadap Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar al-Faruq. Besarnya kecintaan
Ja’far kepada kedua tokoh Islam ini tidak perlu dipertanyakan lagi. Abdul
Jabbar bin al-Abbas al-Hamdani berkatam “Sesungguhnya Ja’far bin Muhammad
menghampiriku saat hendak meninggalkan Madinah. Ia berkata, ‘Sesungguhnya
kalian, insya Allah termasuk orang-orang shaleh di Madinah. Maka tolong
sampaikan (kepada orang-orang), barangsiapa yang menganggapku sebagai imam
ma’shum yang wajib ditaati, maka aku berlepas diri darinya. Barangsiapa yang
menduga aku berlepas diri dari Abu Bakar dan Umar, maka aku pun berlepas diri
darinya’,”
Ad-Daruquthni meriwayatkan
dari Hanan bin Sudair, ia berkata, “Aku mendengar Ja’far bin Muhammad saat
ditanya tentang Abu Bakar dan Umar, ia berkata, ‘Engkau bertanya tentang orang
yang telah menikmati buah-buahan surga?’”
Pernyataan Ja’far ini sangat
jelas bertolak belakang dengan keyakinan orang-orang Syiah yang mencela dan
memaki Abu Bakar dan Umar serta mayoritas sahabat lainnya dan menjadikan hal
itu sebagai ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ja’far ash-Shadiq tidak
mungkin mencela mereka. Ibunya, Ummu Farwa adalah putri al-Qasim bin Muhammad
bin Abu Bakar ash-Shiddiq. Sementara neneknya dari jalur ibunya adalah Asma’
binti Abdurrahman bin Abu Bakar ash-Shiddiq. Apabila anak-anak Abu Bakar ini
adalah paman-pamannya dan Abu Bakar sendiri adalah kakeknya dari dua sisi, maka
sulit dibayangkan seorang Ja’far ash-Shadiq yang berilmu dan shaleh ini
melontarkan cacian dan makian kepada kakeknya, Abu Bajar ash-Shiddiq.
Klaim Bohong Syiah
Pada masa Ja’far, bid’ah
al-Ja’d bin Dirham dan pengaruh Jahm bin Shafwan telah menyebar. Sebagian kaum
muslimin terpengaruh dengan akidah Alquran sebagai makhluk, akan tetapi Ja’far
bin Muhammad mengatakan, “Bukan Khaliq (pencipta), bukan juga makhluk, tetapi
kalamullah.” Akidah dan pemahaman seperti ini bertentangan dengan golongan
Syiah yang mengamini Mu’tazilah, dengan pemahaman akidahnya, Alquran adalah
makhluk.
Artinya prinsip akidah yang
dipegangi oleh Ja’far ash-Shadiq merupakan prinsip-prinsip yang diyakini para
imam Ahlussunnah wal Jamaah, dalam penetapan sifat-sifat Allah. Yaitu
menetapkan sifat-sifat kesempurnaan bagi Allah sebagaimana yang ditetapkan oleh
Allah dan Rasul-Nya, serta menafikan sifat-sifat yang dinafikan Allah dan
Rasul-Nya.
Ibnu Taimiyah berkata,
“Syiah Imamiyah (Itsna Asyriyah), mereka berselisih dengan ahlul bait dalam
kebanyakan pemahaman akidah mereka. Dari kalangan imam ahlul bait seperti Ali
bin Husein, Muhammad bin Ali, Ja’far bin Muhammad ash-Shadiq, dll. tidak ada
yang mengingkari keyakinan melihat Allah di hari kiamat, tidak ada yang
meyakini Alquran adalah makhluk, atau mengingkari takdir, atau menyatakan Ali
merupakan khalifah resmi (sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam),
tidak ada yang mengakui imam yang dua belas adalah ma’shum atau mencela Abu
Bakar dan Umar.”
Orang-orang Syiah juga
berdusta dengan meyakini bahwa Ja’far ash-Shadiq adalah imam yang kekal abadi,
tidak akan pernah mengalami kematian. Hingga saat ini, menurut mereka Ja’far
ash-Shadiq telah menulis banyak karya untuk mendakwahkan ajaran Syiah. Di
antara buku yang diklaim Syiah sebagai karya Imam Ja’far adalah Rasailu Ikhwani
ash-Shafa, al-Jafr (buku yang memberitakan peristiwa-peristiwa yang akan terjadi),
‘Ilmu al-Bithaqah, Ikhtilaju al-A’dha, Qiraatu al-Quran fi al-Manam, dll.
Sebuah prinsip yang harus
kita pegang adalah kita tidak menerima suatu perkataan pun dari Ja’far
ash-Shadiq dan imam-imam yang lain, kecuali dengan sanad yang bersambung, diriwayatkan
dari orang-orang yang terpercaya, dan didukung dalil, maka baru perkataan
tersebut bisa kita terima. Dan yang perlu diketahui, pada masa hidup Ja’far
ash-Shadiq adalah masa-masa yang kering dari karya tulis (80-148 H).
Ibnu Taimiyah mengatakan, “Syariat
mereka (Syiah) tumpuannya berasal dari riwayat sebagian ahlul bait seperti Abu
Ja’far al-Baqir, Ja’far bin Muhammad ash-Shadiq, dan lainnya. Tidak diragukan
lagi, mereka (yang dijadikan Syiah sebagai tumpuan riwayat) adalah orang-orang
pilihan milik kaum muslimin dan imam-imam umat ini. Ucapan-ucapan mereka
mempunyai kemuliaan dan nilai yang pantas didapatkan oleh orang-orang seperti
mereka. Namun sayang, banyak nukilan dusta banyak disematkan kepada mereka.
Kaum Syiah tidak memiliki kapasitas dalam hal periwayatan. Mereka layaknya
ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani), semua riwayat-riwayat yang mereka jumpai
dalam buku-buku mereka, langsung mereka terima (tanpa selesksi). Berbeda dengan
Ahlussunnah, mereka mempunyai kapasitas yang mumpuni dalam ilmu periwayatan,
sebagai piranti untuk membedakan mana kabar yang benar dan kabar yang dusta.”
(Minhaj as-Sunnah, 5: 162).
Diadaptasi dari muqoddimah
tahqiq kitab al-Munazharah (Munazharah Ja’far bin Muhammad ash-Shadiq ma’a
ar-Rafidhi fi at-Tafdhili Baina Abi Bakr wa ‘Ali) karya Imam al-Hujjah Ja’far
bin Muhammad ash-Shadiq, tahqiq Ali bin Abdul Aziz al-Ali Alu Syibl.
Sumber: Majalah As-Sunnah
Edisi 05/X/1427H/2006M
0 komentar :
Posting Komentar