Kisah Kakek
Penjual Es Dawet
Dan penjual dawet itupun memikul dagangannya dengan bahu
kanan. Dia berjalan perlahan melewati pinggiran jalan raya yang penuh dengan
truk dan mobil berkecepatan tinggi. Dia tergesa-gesa mengejar adzan jum’at
berkumandang. Tinggal seratus meter lagi menuju masjid. Lelaki tua itu, lelaki
tak kenal lelah. Memasuki pelataran masjid. Membasuh tubuhnya dengan air wudhu
dan sesekali meminum air itu. “daripada minum dawet, lebih baik aku minum air
masjid ini”, begitu mungkin pikirnya.
Aku memandangnya dari jauh. Kulihat sesekali dia menoleh ke
barang dagangannya. Takut ada yang mencuri mungkin. Maklumlah, modal yang
dipakai pas-pasan. Jangan sampai dagangannya hilang atau rusak oleh ulah tangan
jahil. Ketika adzan jum’at berkumandang. Dia memilih sholat di dekat
dagangannya.
Kasihan engkau kakek. Di umur senjamu, engkau masih harus
bekerja keras sendiri. Dimana anak cucumu kek?
Bahkan ketika sholat jum’at telah selesai. Sang kakek duduk
di dekat dagangannya. Berharap ada satu atau dua jamaah yang menoleh dan
membeli es dawetnya. Sayang beribu sayang. Mungkin jum’at ini bukan jum’at yang
baik baginya. Tak satupun jamaah masjid membeli. Jangankan membeli, menolehpun
tidak. Kakek itu hanya terpaku melihat satu per satu jamaah keluar dari halaman
masjid.
Peluh mulai membasahi tubuhnya. Bayangan akan lembaran uang
lenyap bersamaan dengan sepinya masjid itu….
Aku… yang sedari tadi duduk di halaman masjid, hanya diam
tak bergerak. Kuamati sampai berapa lama sang kakek akan bertahan di pelataran
masjid itu.
Masjid mulai sepi. Hampir semua jamaah telah pulang. Yang
tersisa hanyalah takmir masjid dan beberapa pengurus masjid yang sibuk
menghitung uang hasil infak para jamaah. Sang kakek menoleh ke kanan dan ke
kiri. Tak ada lagi jamaah tersisa. Tinggal aku dan motor plat merahku. Akupun
hanya terdiam. Ingin aku membeli es dawetnya. Tapi apa daya, satu-satunya uang
sepuluh ribuan yang kubawa, telah kumasukkan ke dalam kotak infak masjid.
Sementara pengurus masjid sibuk menghitung infak, sang kakek harus sibuk
menggotong kembali barang dagangannya yang tak laku sama sekali.
Sang kakek, dengan tatapan tegar. Kembali berjalan. Dia
keluar dari pelataran masjid menuju ke arah utara, arah dimana rumah dinasku
berada.
Kupacu motorku cepat. Kudahului sang kakek, kutunggu dia di
depan puskesmas.
Dua puluh menit berlalu dan dari kejauhan, sang kakek
akhirnya nampak. Kupanggil dia keras-keras.
“Paaak!!! Paaakk!!!!”
Dan sang kakek pun mendekat. Dia bertanya, “mau beli dawet
ta nak?”
“iya”, jawabku mantap.
“berapaan pak satu gelasnya?”
“seribu nak”, jawabnya jujur.
“Masya Allah!!!! Dawet segelas dijual cuman seharga
seribu!!! Kapan balik modalnya coba!!!!”, batinku
“yasudah pak, sini masuk, saya mau beli”
Sang kakek berjalan mengikutiku masuk ke ruang rawat inap
para pasien.
Singkat cerita. Aku membeli duapuluh gelas dawet untukku dan
untuk para keluarga penunggu pasien.
Sang kakek melayani permintaanku dengan senyum mengembang di
wajahnya. Kulihat gentong berisi air dawetnya mulai berkurang setengah. Masih
sisa setengah lagi.
“sudah pak, berapa semuanya?”
“duapuluh ribu nak”, katanya berkaca-kaca.
“ini pak, bawa saja sisa kembaliannya”, kuserahkan lembaran
limapuluh ribu ke tangan kakek itu.
Dan sang kakek bertanya, ‘lho berarti sampeyan shodakoh
ini ke saya?”
“apalah kek itu namanya, intinya kembaliannya aku kasih buat
kakek….”
“ini namanya shodakoh nak. Matur nuwun nak. Kulo doakan
semoga sampeyan lancar rejeki”
“amin ya Allah”, jawabku singkat.
Sang kakek pun kembali memikul dagangannya. Kali ini
jalannya semakin cepat. Mungkin karena bahagia atau karena berat gentong
dawetnya sudah berkurang setengah.
Tak terasa air mata merembes di pelupuk mataku.
***
Dan tahukah engkau teman. Keesokan harinya, uang limapuluh
ribu itu, dikembalikan dengan cara yang sangat ajaib oleh Allah. Dia kembali ke
tanganku bukan lagi sebesar limapuluh ribu, melainkan satu juta. Rejeki yang
sangat tidak aku perhitungkan bakal kudapat minggu ini. Dan berkat itu, aku
bisa menabung 2,5 juta untuk minggu ini. Sejuta lebih banyak dibanding minggu2
sebelumnya.
Kakek….
Terimakasih atas doamu…
Sebenarnya bukan aku, melainkan engkau, yang memberi
shodakoh.
Doamu, adalah pembuka pintu rejeki untukku.
Terimakasih banyak, kek….
0 komentar :
Posting Komentar